Minggu, 16 Mei 2010

Perilaku politik di tempat kerja

Pendidikan Politik Anak Muda

Analisis oleh Ramlan Surbakti

SELAMA September ini, para pimpinan dan guru sekolah dasar dan
menengah seluruh Indonesia diinstruksikan oleh Dirjen Pendidikan Dasar
dan Menengah Depdikbud dan Dirjen Kelembagaan Islam Depag melakukan
sejumlah kegiatan resmi dan terstruktur untuk menanamkan nilai dan
orientasi politik antikomunisme ke dalam diri para siswa sekolah dasar
dan menengah.

Kegiatan itu meliputi, pidato pimpinan sekolah pada setiap upacara
Senin, para murid diminta membacakan pidato, membuat dan membacakan
puisi, dan juga diminta menonton poster ataupun film, yang semuanya
menggambarkan kekejaman PKI (Surabaya Post

, 16 September).

Penanaman nilai dan pesan politik ini diharapkan dapat membentuk sikap
dan perilaku antikomunisme di antara para siswa, sehingga mereka
memiliki ketahanan ideologi terhadap setiap bentuk infiltrasi kaum
komunis.

Analisis ini tak bermaksud melakukan penilaian terhadap metode dan
mekanisme penanaman nilai dan pesan politik ataupun efektivitasnya
dalam membentuk sikap dan perilaku antikomunisme, tapi sekadar
berupaya menempatkan proses penanaman nilai dan pesan politik tersebut
dalam kerangka teori sosialisasi politik, sehingga pemahaman kita
menjadi lebih berperspektif.

Penanaman nilai dan orientasi politik yang dilakukan itu, di dalam
ilmu politik, disebut sosialisasi politik, karena terlihat dengan
jelas siapa aktor yang menyampaikan pesan, apa isi pesan, siapa yang
menerima pesan, apa metode dan bagaimana mekanisme penyampaian pesan,
dan apa tujuan penyampaian pesan.

Karena pesan politik itu disampaikan secara manifes dan eksplisit di
sekolah oleh para guru, maka sosialisasi politik yang resmi dan
terstruktur seperti ini sering pula disebut pendidikan politik.

Sosialisasi politik tak hanya menyangkut proses pembentukan sikap dan
orientasi (budaya) politik pada diri individu warga negara, tapi juga
proses mengubah sikap dan orientasi politik para warga negara.

Artinya, melalui sosialisasi politik itulah kultur politik yang
dikehendaki ditanamkan pada generasi muda, dan bila budaya politik
yang berkembang dipandang tak sesuai lagi dengan kebutuhan, maka
melalui sosialisasi politik itu pula budaya politik baru diperkenalkan
dan ditanamkan pada generasi muda.

Karena itulah, pada banyak negara setiap kali terjadi perubahan
pemegang otoritas, atau arah kebijakan, tak jarang diikuti upaya
merevisi isi buku sejarah yang diwajibkan di seluruh sekolah sesuai
kehendak pemegang otoritas, atau kebijakan baru.

Karena di banyak negara, sekolah lebih mudah dikontrol oleh
pemerintah, maka manakala terjadi kesenjangan antara sikap dan
perilaku masyarakat dengan yang dikehendaki, maka sekolah digunakan
sebagai alat mendekatkan kultur politik masyarakat dengan kultur
politik yang dikehendaki. Singkat kata, sosialisasi politik melalui
sekolah acapkali digunakan sebagai sarana memelihara stabilitas
politik.

Para ilmuwan politik yang banyak mengkaji sosialisasi politik
mengajukan sejumlah variabel yang perlu diperhatikan oleh semua pihak
yang berkepentingan menanamkan nilai, dan pesan politik kepada
generasi usia sekolah dan mudia belia lainnya.

Pertama, sosialisasi politik tak hanya berlangsung di dan oleh
sekolah, tapi juga di rumah oleh orangtua dan anggota keluarga
lainnya, lingkungan sosial oleh teman sepermainan, dan orang yang
dihormati, dan oleh berbagai macam media massa, serta berlangsung
seumur hidup.

Sikap seseorang tak selesai terbentuk ketika berusia balita dan usia
sekolah, tapi mengalami adaptasi dan peneguhan sepanjang hidupnya
melalui berbagai pengalaman dalam keluarga, sekolah, bekerja, dan
berinteraksi dengan berbagai pihak dan lingkungan.

Pandangan yang positif ataupun negatif terhadap suatu praktik politik
yang terbentuk pada usia awal akan dapat berubah arah atau diperkuat
oleh pengalaman sosialisasi politik di sekolah, berinteraksi dengan
unsur-unsur sistem politik ataupun dunia kerja.

Karena itu, efektivitas suatu penyampaian nilai dan orientasi politik
ditentukan, antara lain, oleh apakah terdapat konsistensi dan saling
memperkuat di antara sosialisasi politik yang dilakukan oleh berbagai
lingkungan, aktor, dan periode pengalaman hidup tersebut.

Kedua, sikap dan perilaku politik generasi muda usia ini tak hanya
dapat dibentuk melalui sosialisasi nilai dan pesan politik secara
manifes dan langsung (sengaja), tapi juga melalui sosialisasi nilai
dan pesan nonpolitik yang mempunyai analogi dengan objek politik.

Bila anak dilibatkan dalam pembuatan keputusan keluarga tentang ke
mana dan dengan cara apa pergi berlibur, atau siswa dilibatkan dalam
pembuatan keputusan tentang acara-acara nonkurikuler sekolah,
misalnya, maka akan terbentuk sikap dan kepercayaan akan kemampuan
diri, sehingga pada gilirannya bila berinteraksi dalam dunia politik
dia tak hanya cenderung berdiskusi lebih dulu dengan orang lain, tapi
juga tak mudah didikte begitu saja oleh pihak lain.

Tapi bila dalam lingkungan pergaulan ataupun di sekolah, para siswa
sering dihadapkan atau mengalami prasangka, stereotipe, perilaku
agresif, tak sesuai kata dan perbuatan, perilaku menjilat, dan
perlakuan tak adil, maka akan terbentuk sikap dan perilaku politik
yang mudah mencurigai pihak lain, dan berperilaku politik seperti
kodok (ke mana arah angin ke sana dia berpihak, menjilat ke atas,
menendang ke bawah, dan menyikut ke samping).

Ketiga, pengalaman melakukan kontak langsung dengan unsur-unsur sistem
politik sering jauh lebih berpengaruh dalam pembentukan sikap dan
orientasi politik daripada sosialisasi politik secara manifes di
sekolah, rumah ataupun lingkungan sosial lainnya.

Bagaimanapun positifnya citra suatu sistem politik digambarkan dan
bagaimanapun jeleknya suatu bentuk sistem politik lain (yang tak
dikehendaki) digambarkan, misalnya, tapi bila pengalaman berhubung
langsung dengan unsur-unsur sistem politik terasa menyakitkan, seperti
diabaikan oleh partai politik, dipersukar aparat birokrasi, diancam
aparat kamtib, dan dieksploitasi oleh perusahaan dan tempat kerja
lainnya, maka pandangan yang positif tentang sistem politik yang
berlaku ataupun pandangan negatif tentang sistem politik lain itu
dapat berubah, baik seketika maupun bertahap.

Keempat, terdapat perbedaan yang prinsipiil antara pendidikan politik
dan penerangan pada satu pihak, dan indoktrinasi serta propaganda pada
pihak lain, walau keduanya termasuk dalam ranah sosialisasi politik.

Pendidikan politik maupun penerangan sama-sama menganut asas dialogis
atau komunikasi (dua atau lebih arah) antara aktor penyampai pesan dan
subjek yang hendak diberi pesan dalam proses penyampaian pesan ataupun
dalam proses pembentukan sikap dan orientasi politik.

Nilai yang hendak disampaikan maupun metode dan mekanisme sosialisasi
yang digunakan pada dasarnya dapat dipertanyakan, sehingga walau
prosesnya memerlukan waktu relatif lama, namun efektivitasnya lebih
terjamin untuk jangka panjang.

Sedangkan indoktrinasi dan propaganda menggunakan asas monolog dan
searah, dilakukan dari pemegang otoritas kepada massa yang tak
memiliki hak dan kebebasan sebagai objek politik.

Nilai yang hendak ditanamkan maupun metode dan mekanisme yang
digunakan pada dasarnya ditentukan secara sepihak oleh pemegang
otoritas, karena tak tersedia kesempatan bagi objek sosialisasi untuk
mempertanyakan, sehingga hasilnya cenderung efektif untuk jangka
pendek, karena mudah berubah untuk jangka panjang.

Dan akhirnya, dalam dunia serba globalisasi baik pasar, informasi, dan
isu besar yang ditopang oleh kecanggihan dan teknologi komunikasi
massal dewasa ini, maka penyampaian nilai-nilai politik melalui
sosialisasi politik niscaya akan mengalami persaingan dan tantangan.

Media cetak dan elektronik, secara verbal maupun visual, akan
cenderung menonjolkan suatu bidang tapi mengabaikan bidang lain,
sehingga meninggalkan bekas mendalam pada si pembaca, pendengar dan
penonton. Bekas yang dibentuk oleh media tersebut acapkali berbeda,
bahkan bertentangan dengan nilai yang disosialisasikan secara resmi.

Karena itu untuk menghadapi globalisasi tadi, tak hanya nilai-nilai
politik yang disampaikan itu harus dapat dipertanggungjawabkan dasar
konstitusional dan realitas empiriknya, tapi juga metode dan mekanisme
penyampaiannya harus dapat dipertanggungjawabkan efektivitas (bukan
efisiensinya).

0 komentar:

Posting Komentar